My Profile

Foto saya
Jakarta Pusat, DKI JAKARTA, Indonesia

Jumat, 05 November 2010

Wacana Semi Ilmiah

PENGERTIAN KARYA SEMI ILMIAH
Karangan semi ilmiah atau ilmiah populer: karakteristiknya
berada di antara ilmiah dan non-ilmiah

MACAM KARYA TULIS SEMI ILMIAH
Artikel, editorial, opini, feuture, reportase

Contoh Karya Tulis Ilmiah

Berdagang Gelar Akademik

Penangkapan pelaku jual beli gelar sarjana palsu melalui Institut Manajemen Global Indonesia (IMGI) banyak diberitakan di media massa. Jual beli gelar sarjana memang cukup marak terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir. Bank lembaga yang mengaku menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi di luar negeri menawarkan gelar sarjana di berbagai jenjang, terutama jenjang pascasarjana, yang bisa di peroleh dengan cara yang sangat mudah dengan biaya tertentu. Peminatnya ternyata cukup banyak, termasuk beberapa pejabat tinggi negara yang kemudian mencantumkan gelar tersebut di depan namanya dalam dokumen resmi negara.
Situasi ini di respon oleh DEPDIKNAS dengan mengeluarkan surat edaran dari Dirjen Pendidikan Tinggi yang intinya memperingatkan masyarakat untuk tidak tertipu oleh para penjual gelar palsu itu. Sayangnya langkah tersebut tidak disertai oleh tindakan hukum yang jelas sehingga masalah ini menggantung cukup lama. Kasus IMGI dapat dikatakan sebagai kasus pertama yang dikenai tindakan hukum.
Minat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana memang terasa meningkat beberapa tahun terakhir. Ini boleh jadi akibat adanya tuntutan kebutuhan SDM yang lebih berkualitas di berbagai sektor. Dulu mahasiswa pascasarjana umumnya adalah para dosen perguruan tinggi atau para peneliti dari lembaga riset. Sekarang sudah sangat banyak mahasiswa pascasarjana yang merupakan karyawan pemerintah, termasuk pemerintah daerah. Artinya, kebutuhan tenaga kerja dengan pendidikan lebih tinggi dari jenjang sarjana tak lagi hanya merupakan kebutuhan perguruan tinggi di masa lalu.
Situasi ini ditangkap oleh kalangan perguruan tinggi yang sedang menghadapi masalah berkurangnya pasokan dana dari pemerintah. Para peminat pendidikan pascasarjana kemudian menjadi pangsa pasar yang harus diperebutkan. Lalu berlakulah hukum-hukum pasar dan pemasaran. Pihak yang mampu menawarkan produk dengan berbagai kemudahan akan memenangkan persaingan. Sepuluh tahun yang lalu, misalnya, UGM masih mewajibkan para calon mahasiswa S2 yang dianggap belum memiliki kemampuan akademik yang cukup untuk mengikuti program pendahuluan selama satu tahun. Artinya, para mahasiswa ini harus menempuh pendidikan S2-nya dengan total waktu tiga tahun. Tak jelas apakah pola ini masih dipertahankan di UGM.
Bila pola ini masih dipertahankan maka besar kemungkinan program S2 UGM akan sepi peminat. Saat ini ada banyak perguruan tinggi yang menawarkan program pascasarjana, S2 maupun S3, dengan sifat mudah dan cepat. Tentu saja sifat mudah dan cepat ini tidak gratis. Kemudahan dan kecepatan itu biasanya berbanding lurus dengan biaya yang harus dikeluarkan peserta. Misalnya ada universitas yang menyelenggarakan program S2 yang bisa diselesaikan dalam waktu 16 bulan, dengan perkuliahan hanya di akhir pekan. Ada pula yang menyelenggarakan kelas eksekutif yang di samping singkat waktunya juga diiringi oleh berbagai kemudahan fisik seperti ruang kelas yang nyaman dan layanan dari staf administrasi.
Namun, melalui perbandingan sederhana program pascasarjana di negara lain seperti diungkapkan di atas, rasanya tidak berlebihan bila kita anggap bahwa program-program pascasarjana itu rawan terhadap pengabaian mutu. Bila ini terjadi maka keinginan untuk meningkatkan kualitas SDM di jajaran pemerintah tidak akan tercapai. Yang terjadi bukan peningkatan kualitas SDM, melainkan peningkatan jumlah orang dengan gelar akademik. Dengan kata lain, lembaga pendidikan tinggi tidak sedang melaksanakan pendidikan untuk peningkatan kualitas SDM, melainkan sedang menjual gelar akademik. Yang membedakan mereka dengan lembaga-lembaga seperti IMGI hanyalah aspek legalnya semata.
Penangan masalah ini memerlukan setidaknya dua pendekatan. Pertama, pengawasan yang ketat terhadap penyelenggaraan program-program tersebut. Dalam hal ini DEPDIKNAS memiliki wewenang penuh untuk melakukannya melalui mekanisme akreditasi. Di samping itu, tentu saja harus ada komitmen moral dari pelaksana pendidikan tinggi untul tidak hanya mencari uang dari program pendidikan yang mereka laksanakan. Pendekatan kedua adalah dengan menekan animo untuk melanjutkan pendidikan yang berorientasi (hanya) pada gelar akademik.
Motivasi untuk mendapatkan gelar akademik semata tidak terlepas pada mekanisme perekrutan, dan terutama promosi karyawan pada instansi pemerintah. Sudah jadi rahasia umum bahwa mekanisme penilaian untuk menentukan kenaikan pangkat atau promosi jabatan di lembaga pemerintah kita sangat mementingkan sisi-sisi administratif dan banyak mengabaikan kualitas dan kapasitas rill seorang karyawan. Akibatnya, gelar akademik akhirnya lebih sering dijadikan sebagai legitimasi untuk menempati posisi tertentu ketimbang jadi cerminan kualitas dan kapasitas penyandangnya.

SUMBER:

http://banizamzami.blogspot.com/2010/02/berdagang-gelar-akademik-wacana-semi.html
http://noorifada.files.wordpress.com/2009/08/mpi_02-karya-ilmiah.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar