Saat ini kasus Bank Century merupakan kasus yang paling hangat dan paling sering dibicarakan,baik di masyarakat, media massa, dan kalangan pemerintahan. Bank Century bergulir bak bola salju, kian ke mari kian membesar. Kasus penyuntikan dana oleh pemerintah ke bank milik Robert Tantular itu juga seperti membuka kotak pandora. Satu per satu spekulasi, dugaan, dan temuan terus bermunculan.
Yang paling mutakhir adalah temuan polisi yang menyebutkan bahwa Bank Century sudah merugi Rp9,15 triliun hingga 20 November 2008. Itu berarti sehari sebelum keputusan penyelamatan oleh pemerintah diambil.
Kerugian itu muncul, menurut polisi, karena pemilik dan pengelola bank menggunakan uang nasabah untuk transaksi yang amat berisiko, di antaranya bermain valas. Dengan demikian, otoritas di pemerintahan dan pengawas bank seharusnya sudah tahu bahwa bank yang mereka awasi tidak menjalankan manajemen risiko secara baik.
Tapi, mengapa Bank Century tetap diselamatkan? Mengapa bank yang sudah dirampok pemiliknya sendiri tetap diinjeksi dana secara besar-besaran hingga mencapai Rp6,7 triliun? Bukankah kesepakatan awal dana talangan hanya Rp1,3 triliun?
Deretan pertanyaan makin bertambah ketika kita mendapati fakta masih banyak nasabah kecil yang belum menerima uang mereka. Lalu, ke mana larinya uang Rp6,7 triliun itu? Spekulasi pun berkembang bahwa suntikan dana itu hanya mengalir deras ke kantong deposan kakap. Di antara mereka bahkan disebut-sebut ada yang memiliki deposito di Bank Century hingga Rp2 triliun.
Kejanggalan itupun membuat KPK meminta BPK melakukan audit investigastif. Alhasil BPK menemukan adanya dugaan pembengkakan pengucuran dana. (baca : Ditemukan Pembengkakan Dana Bank Century 10 Kali Lipat). Sekjen Jaringan Aktifis Pro Demokrasi (Prodem), Andrianto melihat kasus Bank Century merupakan kasus kriminal. Jadi siapapun yang terlibat harus diperiksa termasuk pejabat BI yang selama ini berperan dalam kasus ini.
“KPK harus ambil alih, jangan ragu memeriksa pejabat BI jika memang sudah ada hasil audit dari BPK yang menunjukkan ada keanehan. Jangan diumpetin, ini uang negara,” tegasnya.
Andrianto mengatakan, pejabat BI yang paling bersalah adalah Gubernur BI yang tentunya menyetujui proses ini. Makanya dia juga mendesak DPR secepatnya membentuk panitia khusus (Pansus) menyelidiki kasus ini.
Menurutnya, kasus Bank Century telah menjadi pemicu utama perseteruan antara KPK dan Polri. Sebab itu kasus ini harus segera dibereskan. Siapa yang bersalah harus mempertanggungjawabkan kesalahannya, jangan tebang pilh dan jangan ada motif politik didalamnya.
Sementara pengamat ekonomi, Ichsanuddin Noorsy mengatakan, untuk memeriksa pejabat Bank Indonesia terkait bailout Bank Century harus menunggu hasil BPK yang saat ini sedang berlangsung.
Selain itu Noorsy menyatakan dibutuhkan ketegasan sikap DPR untuk terus mendorong kasus ini agar bisa maju ke proses selanjutnya. Kalau seperti sekarang tidak bisa diharapkan lagi.
Yang penting untuk diketahui masyarakat, lanjutnya, prosedur pemberian fasilitas kredit yang berjangka pendek dan darurat yang dilakukan pejabat BI terhadap Bank Century. Itu juga patut dipertanyakan karena tidak transparan dan tidak sesuai dengan aturan yang ada.
Noorsy mengatakan, sejak awal ada kejanggalan, pada September 2008 BI menilai Bank Century tidak akan berdampak sistemik terhadap perekonomian Indonesia. Tetapi sikap itu berubah pada November yang mengatakan Bank Century bisa berdampak sistemik.
“Ini sangat mengherankan, dalam satu keputusan terhadap dua kebijakan yang berbeda dan bertentangan antara satu dengan yang lain,” katanya.
Masyarakat khususnya para nasabah Century berharap pemerintah secepatnya menyelesaikan kasus ini dengan arif, bijaksana dan tegas. Menghukum semua yang terlibat tanpa pandang bulu.
Dan tampaknya harapan dan tuntutan masyarakat tersebut sudah didengar oleh para anggota DPR yang akan membentuk pansus(panitia khusus) yang akan menangani dan menyelidik apa yang sebenarnya terjadi dan kemanakah uang para nasabah dan negara yang berjumlah teriliunan rupiah itu raib.