My Profile

Foto saya
Jakarta Pusat, DKI JAKARTA, Indonesia

Minggu, 29 November 2009

Demokrasi

Permasalahan demokrasi di Indonesia tidak pernah selesai dari jaman orde baru hingga jaman yang disebut jaman reformasi sekarang ini. Aspirasi masyarakat yang disampaikan ke para anggota dewan yang duduk di gedung DPR&MPR seringkali mampet dan tidak didengar. Bagaimana tidak? Indonesia sejak dulu memiliki lansekap politik yang tidak utuh, dengan banyak partai kecil yang berkompetisi memperebutkan kekuasaan dan keuntungan.

Kecenderungan ini bertambah parah pada pemilihan tahun 2004 dan berlanjut

dengan kekacauan politik dan perpecahan parlemen yang lebih dari sebelumnya.

Terdapat 5 partai utama dalam DPR sebelumnya (1999-2004). DPR pada

saat itu didominasi oleh PDIP, yang anggotanya menduduki 1/3 kursi anggota di

DPR. Golkar memegang sekitar ¼ kursi, dan kedua partai terbesar ini merupakan

mayoritas kursi terpilih (59%). Tiga partai menengah (PPP,PKB dan PAN) bersama-sama

mendapat hampir 1/3 kursi di DPR dan sisa kursi dipegang oleh 15 partai

kecil.

Sejak pemilihan tahun 2004, sekarang terdapat 7 partai terbesar, Golkar,

PDIP, PKB, PPP, Partai Demokrat, PKS dan PAN. PDIP dan Golkar kehilangan

kehebatan mereka dengan hanya menduduki 43% kursi DPR. Dengan kenaikan dua

partai baru, Partai Demokrat dan PKS, hampir setengah dari kursi-kursi di DPR

(48,1%) diduduki secara merata oleh lima partai lainnya, dan sembilan partai kecil

menduduki sisanya (9%). Dengan demikian DPR sekarang memiliki dua partai yang

terbesar dengan masing-masing 20% kursi, lima partai lain dengan masing-masing

10% kursi, dan 10% kursi lainnya diduduki oleh sembilan partai kecil. Baik kedua

partai terbesar bersama-sama ataupun koalisi yang mungkin dibentuk oleh partaipartai

lainnya tidak dapat menahan mayoritas.

Segera setelah persidangan DPR yang baru pada bulan Oktober 2004, dua

koalisi partai terbentuk, Koalisi Kebangsaan ( Golkar dan PDIP) dan Koalisi Rakyat

(PPP, Partai Demokrat, PKS dan PAN), dengan PKB mengambil posisi yang bersifat

ambigu. Koalisi-koalisi yang dilakukan untuk mendapat kemudahan ini,

bagaimanapun, tidak berkembang menjadi koalisi kerja yang berkelanjutan dan dibubarkan ketika tujuan awal mereka untuk memenangkan kontrol Komisi DPR

telah tercapai. Penolakan publik di antara kedua koalisi atas distribusi juru bicara

Komisi, menyebabkan terhentinya kerja DPR selama beberapa

bulan, dan menyebabkan timbulnya ancaman untuk memboikot rapat paripurna dan

untuk membentuk komisi tandingan.

Perselisihan yang kurang pantas dan mengakibatkan kerusakan ini

merupakan indikasi awal yang membuat DPR baru kesulitan untuk menetapkan pola

voting. Ketika pimpinan Golkar dijabat oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada tahun

2005, keberadaan koalisi-koalisi ini akhirnya dihapuskan, dengan Golkar dan Partai

Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono, bergabung dalam sebuah kesepakatan kerja

yang mengecewakan mayoritas DPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar