Permasalahan demokrasi di Indonesia tidak pernah selesai dari jaman orde baru hingga jaman yang disebut jaman reformasi sekarang ini. Aspirasi masyarakat yang disampaikan ke para anggota dewan yang duduk di gedung DPR&MPR seringkali mampet dan tidak didengar. Bagaimana tidak? Indonesia sejak dulu memiliki lansekap politik yang tidak utuh, dengan banyak partai kecil yang berkompetisi memperebutkan kekuasaan dan keuntungan.
Kecenderungan ini bertambah parah pada pemilihan tahun 2004 dan berlanjut
dengan kekacauan politik dan perpecahan parlemen yang lebih dari sebelumnya.
Terdapat 5 partai utama dalam DPR sebelumnya (1999-2004). DPR pada
saat itu didominasi oleh PDIP, yang anggotanya menduduki 1/3 kursi anggota di
DPR. Golkar memegang sekitar ¼ kursi, dan kedua partai terbesar ini merupakan
mayoritas kursi terpilih (59%). Tiga partai menengah (PPP,PKB dan PAN) bersama-sama
mendapat hampir 1/3 kursi di DPR dan sisa kursi dipegang oleh 15 partai
kecil.
Sejak pemilihan tahun 2004, sekarang terdapat 7 partai terbesar, Golkar,
PDIP, PKB, PPP, Partai Demokrat, PKS dan PAN. PDIP dan Golkar kehilangan
kehebatan mereka dengan hanya menduduki 43% kursi DPR. Dengan kenaikan dua
partai baru, Partai Demokrat dan PKS, hampir setengah dari kursi-kursi di DPR
(48,1%) diduduki secara merata oleh lima partai lainnya, dan sembilan partai kecil
menduduki sisanya (9%). Dengan demikian DPR sekarang memiliki dua partai yang
terbesar dengan masing-masing 20% kursi, lima partai lain dengan masing-masing
10% kursi, dan 10% kursi lainnya diduduki oleh sembilan partai kecil. Baik kedua
partai terbesar bersama-sama ataupun koalisi yang mungkin dibentuk oleh partaipartai
lainnya tidak dapat menahan mayoritas.
Segera setelah persidangan DPR yang baru pada bulan Oktober 2004, dua
koalisi partai terbentuk, Koalisi Kebangsaan ( Golkar dan PDIP) dan Koalisi Rakyat
(PPP, Partai Demokrat, PKS dan PAN), dengan PKB mengambil posisi yang bersifat
ambigu. Koalisi-koalisi yang dilakukan untuk mendapat kemudahan ini,
bagaimanapun, tidak berkembang menjadi koalisi kerja yang berkelanjutan dan dibubarkan ketika tujuan awal mereka untuk memenangkan kontrol Komisi DPR
telah tercapai. Penolakan publik di antara kedua koalisi atas distribusi juru bicara
Komisi, menyebabkan terhentinya kerja DPR selama beberapa
bulan, dan menyebabkan timbulnya ancaman untuk memboikot rapat paripurna dan
untuk membentuk komisi tandingan.
Perselisihan yang kurang pantas dan mengakibatkan kerusakan ini
merupakan indikasi awal yang membuat DPR baru kesulitan untuk menetapkan pola
voting. Ketika pimpinan Golkar dijabat oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada tahun
2005, keberadaan koalisi-koalisi ini akhirnya dihapuskan, dengan Golkar dan Partai
Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono, bergabung dalam sebuah kesepakatan kerja
yang mengecewakan mayoritas DPR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar