Peraturan perbankan syariah yang dikeluarkan pada tahun 1998 yang menggantikan peraturan perbankan syariah tahun 1992 telah memungkinkan perkembangan perbankan syariah dengan sangat cepat. Berkembangnya jumlah cabang dari bank syariah baik dari bank umum yang berdasarkan syariah maupun divisi syariah dari bank umum konvensional, serta meningkatnya kemapuan dalam menyerap dana masyarakat terlihat dari dana simpanan pihak ketiga tertera di neraca bank-bank syariah tersebut. Hal tersebut mengharuskan Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk lebih menaruh perhatian dan lebih hati-hati dalam menjalankan fungsi pengawasannya, yaitu mengawasi bank-bank umum yang ada di bawahnya sekaligus dengan tidak mengganggu momentum pertumbuhan bank-bank syariah tersebut.
BI dalam menjalankan fungsi-fungsi bank sentralnya terhadap bank-bank yang berdasarkan syariah mempunyai instrumen-instrumen sebagai berikut:
a) Giro Wajib Minimum (GWM), biasanya dinamakan Statutory Reserve Requirement, yaitu simpanan minium bank-bank umum dalam bentuk giro pada BI yang besarnya ditetapkan oleh BI berdasarkan persentase-persentase tertentu dari dana pihak ketiga. GWM ini adalah kewajiban bank dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip-prinsip kehati-hatian perbankan (prudential banking) serta juga mempunyai peran sebagai instrumen moneter yang berfungsi mengendalikan jumlah peredaran uang.
Dalam pelaksanaannya GWM ini besarannya adalah 5% dari dana pihak ketiga yang berbentuk IDR (Rupiah) dan 3% dari dana pihak ketiga yang berbentuk mata uang asing. Jumlah tersebut dihitunh dari rata-rata harian dalam satu masa laporan untuk periode dua masa laporan sebelumnya. Sedangkan dana pihak ketiga yang dimaksud di sini adalah dalam bentuk:
1) Giro Wadiah,
2) Tabungan Mudharabah,
3) Deposito Investasi Mudharabah,
4) Kewajiban lainnya.
Dana pihak ketiga bank dalam IDR ini tidak termasuk dana yang diterima oleh bank dari Bank Indonesia (BI) dan BPR. Sedangkan dana pihak ketiga dalam mata uang asing meliputi kewajiban dalam mata uang asing kepada pihak ketiga termasuk bank dan Bank Indonesia (BI) yang terdiri dari:
1) Giro Wadiah,
2) Deposito Investasi Mudharabah,
3) Kewajiban lainnya.
Adapun kesalahan dan keterlambatan dalam penyampaian laporan mingguan yang digunakan untuk menentukan GWM ini dikenakan denda oleh Bank Indonesia (BI). Sedangkan untuk bank yang melakukan pelanggaran GWM ini dikenakan sangsi baik kekurangan dari minimum maupun kekurangan negatif,
b) Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank Syariah (Sertifikat IMA), sertifikat IMA adalah suatu instrument yang digunakan oleh bank-bank syariah yang kelebihan dana untuk mendapatkan keuntungan dan di lain pihak sebagai sarana penyedia dana jangka pendek bagi bank-bank syariah yang kekurangan dana.
Sertifikat ini berjangka waktu 90 hari, diterbitkan oleh kantor pusat bank syariah dengan format dan ketentuan standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI). Pemindahtanganan Sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh bank penanam dana pertama saja, sedangkan bank penanam dana kedua tidak diperkenankan memindahtangankan kepada pihak lain sampai berakhirnya jangka waktu. Pembayaran akan dilakukan oleh bank syariah penerbit sebesar nilai nominal ditambah imbalan bagi hasil (yang dibayarkan awal bulan berikutnya dengan nota kredit melalui kliring, bilyet giro Bank Indonesia (BI), atau transfer elektronik),
c) Setifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), SWBI adalah instrumen Bank Indonesia (BI) yang sesuai dengan syariah Islam yang digunakan dalam OMO. Selain itu, SWBI ini juga dapat digunakan oleh bank-bank syariah yang mempunyai kelebihan likuiditas sebagai sarana penitipan jangka pendek,
Dalam operasionalnya, SWBI ini mempunyai suatu nilai nimonal minimum Rp500 juta dengan jangka waktu yang dinyatakan dalam hari (misalnya: 7 hari, 14 hari, 30 hari). Pembayaran dan pelunasan SWBI adalah melalui debet/kredit rekening giro bank yang ada di Bank Indonesia (BI). Jika jatuh tempo dana akan dikembalikan beserta bonus yang ditentukan berdasarkan parameter Sertifikat IMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar