My Profile

Foto saya
Jakarta Pusat, DKI JAKARTA, Indonesia

Senin, 20 Desember 2010

Kebijakan-kebijakan Pembangunan

Lemahnya sisi permintaan dan penawaran agregat menyebabkan perekonomian NSB seolah-olah berada dalam lingkaran permasalahan tanpa ujung pangkal (lingkaran setan). Karena itu campur tangan pemerintah, baik melalui kebijakan ekonomi maupun kebijakan nonekonomi, amat diperlukan untuk memutuskan mata rantai lingkaran setan tersebut.
1) Kebijakan Ekonomi
Kebijakan moneter, fiskal dan ekonomi internasional secara teoretis dapat digunakan pemerintah untuk memperbaiki kondisi perekonomian.

a) Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter dapat memperbesar kemampuan penawaran agregat melalui ~ pemberian kredit, khususnya kepada kelompok usaha kecil dan menengah (UKM).
Di Indonesia hal ini telah dilakukan, misalnya melalui pemberian kredit pertanian dan
atau pedesaan. ,
Kebijakan moneter juga dapat memperbesar permintaan agregat, khususnya untuk kebutuhan pokok yang sangat penting, seperti perumahan. Untuk itu kredit perumahan bagi rakyat yang berpenghasilan rendah dan tetap sangat memberi manfaat. Di Indonesia hal ini dilakukan misaln a lewat # ro • am Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
b) Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal melalui subsidi dapat merungkatkan daya beli dan atau daya investasi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan tetap. Misalnya subsidi BBM pada masa lalu sangat menolong masyarakat yang menggunakan riunyak tanah untuk keperluan memasak atau penerangan malam hari. Demikian juga subsidi pendidikan, telah memungkinkan anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk menikmati investasi SDM.
Di sisi lain, kebijakan fiskal dapat menahan laju perilaku konsumtif masyarakat kaya dan berpendapatan tinggi. Hal ini dilakukan lewat kebijakan pajak penghasilan (PPh) progresif dan pajak pertambahan nilai (PPN), khususnya untuk barang mewah (PPnBM). Menahan laju perilaku kelompok kaya amat panting, setidak-tidaknya karena dua alasan:
(1) Mengurangi inflasi akibat tekanan permintaan
Sebenarnya wajar saja bila mereka yang memiliki uang lebih banyak, membeli barang dan jasa yang lebih banyak pula. Tetapi keterbatasan penawaran agregat akan memperbesar tekanan permintaan, bila pola dan gairah konsumsi kelompok kaya tidak dibatasi. Sebab pada akhirnya hal ini akan menaikkan inflasi, yang akan merugikan masyarakat berpendapatan rendah dan tetap.
(2) Menekan efek peniruan (demonstration effect) masyarakat miskin
Yang dimaksud dengan efek peniruan (demonstration effect) adalah berubahnya pola konsumsi masyarakat bawah menjadi lebih konsumtif dari yang seharusnya, karena terpengaruh oleh perilaku konsumsi kelompok masyarakat yang sudah kaya dan atau berpenghasilan tinggi. Di Indonesia saat ini ada kecenderungan di mana masyarakat yang belum mampu, bahkan belum mempunyai penghasilan, untuk meniru apa yang biasa dilakukan kelompok kaya. Misalnya, anak-anak remaja yang belum berpenghasilan membiasakan diri makan/jajan di Kafe atau Mall. Demikian juga keluarga yang sebenarnya belum memiliki penghasilan cukup, memaksakan diri untuk makan bersama di restoran (mewah) untuk merayakan hari ulang tahun anak.
Ilmu ekonomi tidak terlalu memberikan penilaian apakah kebiasaan di atas &,i-ja atau tidak! Wewenang tersebut ada ditangan ilmu teologia (agama). Yang menjadi perhatian ilmu ekonomi adalah apa dampak perilaku tersebut terhadap kestabilan dan masa depan masyarakat (perekonomian). Bila keluarga yang belum mampu, memaksakan diri berperilaku konsumtif, mereka akan kehilangan kemampuan melakukan investasi SDM, khususnya bagi anak-anak mereka. Dalam jangka panjang, pola hidup konsumtif akan sangat merugikan kehidupan bersama. Sebab, 10-15 tahun kemudian yang dihasilkan mungkin adalah angkatan kerja yang bodoh, malas, dan kurang bertanggungjawab.
Selain amok mengelola permintaan agregat, kebijakan fiskal juga berguna untuk pengelolaan sisi penawaran agregat. Misalnya, pengenaan pajak progresif akan mengendalikan nafsu individu atau perusahaan yang mencoba taros meningkatkan keuntungan mereka. Dengan demikian kesempatan kerja dan usaha akan lebih merata.
c) Selain mendapat kucuran dana, negara-negara peminjam juga mendapat bantuan teknis, memperluas jaringan kerja informasi, dan juga memperluas pasar ekspor.
d) Bagi negara pemberi pinjaman yang umumnya sangat kaya, makin besamya ULN dunia ketiga, berarti memperkecil uang menganggur.


Namun dibalik manfaat, terdapat juga risiko-risiko ULNP, terutama kebocoran dan inefisiensi penggunaan dana, baik karena kesalahan/kekurangmampuan manajerial maupun karena korupsi.

Jika penawaran agregat perlu ditingkatkan, pemerintah juga dapat menggunakan instrumen pajak dan subsidi. Misalnya, subsidi pendidikan yang diberikan kepada pengelola pendidikan swasta akan meningkatkan penawaran jasa pendidikan. Demikian juga subsidi BBM dan listrik yang diberikan kepada industri akan dapat meningkatkan output yang ditawarkan.
c) Kebljakan Ekonoml Internasional
Umumnya pemimpin NSB.lebih memilih kebijakan ekonomi terbuka (melakukan hubungan ekonomi dengan lttar negeri). Sebab kebijakan ini akan membuka akses pasar ekspor bagi produk-produk mereka, sekaligus membuka sumber pengadaan barang modal dan bahan baku industri dari negara-negara lain. Secara teoretis, jika pengelolaan baik dan transparan, kebijakan ekonomi terbuka akin mempercepat proses pembangunan ekonomi.
Beberapa kebijakan ekonomi yang umumnya dipilih oleh NSB adalah kebijakan¬kebijakan promosi ekspor, substitusi impor, dan proteksi industri.
(1) Kebijakan promosi ekspor selain menghasilkan devisa, juga melatih dan meningkatkan daya saing atau produktivitas para pelaku ekonomi domestik. Umumnya, NSB mengekspor hasil-hasil sektor primer (pertanian dan per¬tambangan) atau hasil-hasil industri yang telah ditinggalkan negara-negara yang lebih dahulu maju. Thailand misalnya, sangat terkenal sebagai negara yang mampu menghasilkan devisa dari ekspor hasil pertanian. Sementara Indonesia, memperoleh devisa yang besar dari ekspor tekstil. Korea Selatan juga mulai menghasilkan devisa yang besar dari ekspor mobil. Hal yang memungkinkan Thailand mengekspor hasil pertanian, Indonesia mengekspor tekstil dan Korea Selatan mengekspor mobil adalah negara-negara maju (Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa Barat) tidak lagi menaruh perhatian pada sektor pertanian dan industri-industri tersebut. Saat ini mereka berkonsentrasi pada industri yang padat ilmu pengetahuan (knowledge intensive), misalnya komputer dan peralatan komunikasi canggih atau peralatan militer modem. Sebab nilai tambah dari penjualan produk-produk tersebut jauh lebih tinggi dari yang dihasillcan industri mobil atau tekstil.
(2) Kebijakan substitusi impor adalah kebijakan untuk memproduksi barang-barang yang diimpor. Tujuan utamanya adalah penghematan devisa. Di Indonesia, pengembangan industri tekstil pada awalnya adalah langkah substitusi impor. Jika tahap substitusi impor terlampaui, NSB umum-nya lantas menempuh strategi¬promosi ekspor.
(3) Kebijakan proteksi industri umumnya bersifat sementara. Sebab tujuannya untuk melindungi industri yang masih baru berkembang (infant industries), sampai mereka mampu bersaing. Jika industri tersebut sudah dewasa, maka perlindungan dicabut. Perlindungan yang diberikan biasanya adalah pengenaan tarif dan atau pemberian kuota untuk barang-barang produk negara lain yang boleh masuk ke pasar domestik. _
2) Kebljakon Non Ekonoml
Pengalaman pembangunan di NSB berkali-kali menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi yang dirancang dan dilaksanakan tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Di Indonesia, subsidi BBM telah dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok kaya dengan membeli BBM yang lebih banyak digunakan untuk mobil dan sumber energi lainya. Demikian juga subsidi pendidikan tinggi, khususnya di perguruan tinggi negeri saat ini lebih banyak dinikmati oleh anak-anak dari keluarga mampu.
Gejala di atas dapat dijelaskan oleh ilmu ekonomi, yaitu terjadinya kegagalan pasar (market failure), yang disebabkan belum baiknya mekanisme pasar dan informasi yang tidak simetris dan sempurna. Tetapi faktor lain yang tidak dapat diabaikan adalah faktor-faktor nonekonomi. Misalnya monopoli kekuasaan, maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan faktor-faktor sosial budaya. Karenanya, kebijakan non ekonomi akan saling mendukung dengan kebijakan ekonomi.
Kebijakan non ekonomi yang dapat ditempuh pemerintah antara lain penegakan hukum, memperbaiki kondisi demokrasi, desentralisasi atau pengembangan otonomi daerah secara bertahap.
c. Utang Luar Negerl (External Debt)
Salah satu persoalan terbesar yang dihadapi negara-negara dunia ketiga adalah besarnya utang luar negeri (ULN). Jika pada tahun 1970-an ULN negara dunia ketiga sebagian besar adalah ULN pemerintah (public external debt), maka pada dasawarsa terakhir abad 20, porsi terbesar adalah ULN sektor swasta (private external debt). Pembahasan ULN dunia ketiga menjadi sangat relevan, karena salah satu faktor penyebab krisis ekonomi di Amerika Selatan periode 1980-an dan Asia Timur periode 1990-an adalah besarnya ULN, terutama sektor swasta.
1) Utang Luar Negerl Pemerlntah (Public External Debt)
Yang dimaksud dengan utang luar negeri pemerintah (ULNP) adalah pinjaman pemerintah dari lembaga-lembaga bantuan keuangan internasional, khususnya Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund). Pinjaman tersebut diberikan untuk mempercepat proses pembangunan. Sebab, untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintah yang ideal, maka anggaran pemerintah harus sangat besar, sementara kemampuan keuangan negara sangat lemah.
Ada beberapa argumentasi yang membenarkan pinjaman luar negeri oleh pemerintah, di antaranya adalah:
a) Sangat lemahnya kemampuan pendanaan domestik sektor swasta maupun pemerintah. Dengan demikian ULN ibarat suntikan makanan, yang akan sangat mempercepat proses pembangunan ekonomi.
b) Pinjaman yang diberikan sangat ringan, dalam arti utang bersifat jangka panjang dan dengan tingkat bunga sangat rendah.

2) Utang Luar Negeri Swasta (Private External Debt)
Utang luar negeri swasta (ULNS) dilakukan berdasarkan pertimbangan bisnis. Lembaga-lembaga keuangan internasional barn akan memberi pinjaman kepada sektor swasta, jika memenuhi pertimbangan-pertimbangan finansial. Kadang-kadang pemberi pinjaman meminta jaminan pemerintah atas utang swasta. Hal ini disebut
public guarantee debt.
Karena dasar pertimbangan utamanya adalah untung rugi, maka ULNS mempunyai syarat dan beban yang lebih berat. Umpamanya, jangka waktu pinjaman relatif pendek dengan tingkat bunga pinjaman yang tinggi.
3) Perkembangan Utang Luar Negerl Dunla Ketiga
Pada tahun 1997 jumlah ULN NSB mencapai US$ 2,0 triliun, padahal pads tahun 1985 baru mencapai US$ 0,92 triliun, atau selama 1985-1997 ULN dunia ketiga meningkat dengan kecepatan 6,7% per tahun. Angka pertumbuhan ULN ini lebih besar dari pertumbuhan PNB dunia ketiga amok periode yang sama.
Dari sejumlah US$ 2,0 triliun di atas, sekitar US$ 1,3 triliun adalah utang 10 negara pengutang terbesar, yaitu Brasil (US$ 194 miliar), Mexico (US$ 149 miliar), Cina (US$ 146,7 miliar), Korea Selatan (US$ 143 miliar), Indonesia (US$ 136,2 miliar), Rusia (US$ 126 miliar), Argentina (US$ 123 miliar), India (US$ 94 miliar), Thailand (US$ 93 miliar), Turki (US$ 91 miliar). Dengan demikian sekitar 65% ULN dunia merupakan utang 10 negara, di mana 9 di antaranya adalah negara dunia ketiga. Kondisi ini lebih berat dibanding tahun 1985, di mana total ULN 10 negara tersebut di atas adalah US$ 0,5 triliun atau 54% total ULN dunia
Dari sepuluh negara tersebut di atas, beberapa di antaranya memang telah lama mengalami masalah ULN yang besar, misalnya Brasil yang di tahun 1985 ULN-nya telah mencapai US$ 104 miliar, Mexico (US$ 97 miliar), Korea Selatan (US$ 55 miliar), dan Argentina (US$ 51 miliar). Di luar ketiga negara tersebut selama 1985-1997 ada beberapa negara yang pertumbuhan ULN-nya melebihi angka 10% per tahun. Misalnya China (20,3% per tahun), dan Thailand (14,9% per tahun).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar