Pada masa sebelum diberlakukannya syariah Islam pada sistem perbankan di Sudan, Bank Sentral Sudan (BOS) sangat tergantung pada instrumen-instrumen langsung seperti tingkat suku bunga, plafon kredit (credit ceiling), ketentuan rasio likuiditas (statuory liquidity ratio), dan tingkat diskonto. Pada awalnya instrumen-instrumen tersebut sangat efektif karena perekonomian Sudan yang mempunyai karakteristik yaitu sistem financial yang non-kompetitif, pasar model primer dan sekunder yang belum berkembang, serta kelangkaan modal. Namun karena instrumen-instrumen langsung tersebut mengakibatkan distorsi dari alokasi sumber daya bank, interferensi terhadap mekanisme harga, pembatasan kredit, serta misalokasi dan distorsi dari kompetisi akibat penerapan batasan-batasan pada manajemen aset bank. Pada akhirnya, BOS lebih memilih untuk memakai instrumen-instrumen tidak lansung seperti RR dan OMO.
Pada tahun 1984, setelah diperkenalkannya syariah Islam di Sudan, BOS mengeluarkan arahan dan perintah kepada seluruh bank yang beroperasi di Sudan agar menjalankan prinsip-prinsip perbankan yang sesuai dengan syariah Islam dalam aktivitas kesehariannya. Akibatnya, BOS dihadapkan pada permasalahan substitusi instrument moneter konvensioal dengan instrumen moneter yang sesuai dengan syariah Islam untuk dapat mempertahankan perannya sebagai pengawas dan pemberi arahan bagi bank-bank, melakukan ekspansi atau kontraksi penawaran uang atau kredit, dan mengimplementasikan kebijakan moneter, serta sekaligus menjaga kepentingan publik.
Berikut adalah instrumen-instrumen moneter yang digunakan oleh BOS dalam operasionalnya:
a) Reserve Requirement, setiap bank harus menyadangkan pada simpanan di BOS sedikitnya 20% (10% untuk simpanan dalam mata uang asing) dari toatal dana simpanan masyarakat (dengan pengecualian simpanan invetasi) yang direfleksikan pada neraca akhir bulan bank tersebut.
b) Bank-bank komersial harus mencapai dan memelihara rasio likuiditas sebesar 10% dari dana giro dan tabungan dalam bentuk mata uang lokal.
c) Plafon kredit untuk sektor-sektor prioritas tertentu seperti:
1) pertanian,
2) ekspor,
3) perindustrian,
4) pertambangan dan energi,
5) transportasi dan pergudangan
6) professional, pengrajin, dan bisnis keluarga ukuran kecil,
7) perumahan rakyat
8) investasi pada pasar saham resmi Khartoum.
di mana minimum 90% dari dana kredit bank harus dialokasikan pada sector prioritas tersebut dan sisanya dialokasikan pada sector non-prioritas, termasuk perdagangan domestic dan jasa yang tidak berhubungan dengan sector prioritas,
d) Marjin keuntungan minimum untuk perjanjian Murabahah (berkisar antara 10%-50% tergantung pada sector dan mata uang yang digunakan),
e) Penyertaan minimum nasabah untuk perjanjian Musyarakah sebagai alat untuk mengatur jumlah ketersediaan sumber daya untuk kredit (sampai dengan 1998),
f) Jendela pembiayaan sebagai fasilitas siaga yang dapat digunakan oleh bank-bank jika mereka memintanya baik untuk keperluan karena kekurangan likuiditas maupun pembiayaan investasi,
g) Aturan-aturan kualitatif dan kuantitatif seperti:
1) Ketentuan minimum 50% dari total kredit yang diberikan harus untuk daerah rural,
2) Kelompok bank-bank dapat membentuk portofolio kredit sector prioritas hanya jika mereka memberitahukan BOS sebelumnya,
3) Kredit tidak akan diberikan kepada orang/institusi yang gagal memenuhi kewajibannya pada sistem perbankan kecuali jika disetujui sebelumnya oleh BOS,
4) Presentase tertentu akan diambil dari pendapatan bank yang gagal dalam menyelesaikan keterlambatan pembayaran kredit nasabahnya di mana jumlah nominalnya akan ditambahkan pada bad debt provision,
5) Seluruh kredit harus dipastikan (melalui bagian legal) mematuhi ketentuan syariah,
h) Foreign Exchange Operation sebagai alat BOS untuk menjaga stabilitas nilai tukar uang (bukan untuk fungsi control likuiditas),
i) OMO dengan menggunakan instrument:
1) Central Bank Musharaka Certificate (CMC) di mana fungsi dari sekuritas Bank Sentral konvensional sebagai pengendali likuiditas uang terpenuhi dengan keberadaan sekuritas yang berdasarkan sistem bagi hasil (yang sesuai syariah Islam) ini.
CMC mempunyai karakteristik sebagai berikut:
i. tidak mempunyai tanggal jatuh tempo,
ii. berbasiskan ekuitas (equity-based) dalam jumlah tertentu dari investasi BOS dan pemerintah di bank-bank komersial,
iii. mempunyai nilai nominal uniform yang sebanding dengan nilai akunting dari total jumlah investasi dibagi jumlah CMC yang diterbitkan,
iv. dapat diperdagangkan oleh pemilik di pasar sekunder melalui prosedur administrasi standar, sedangkan pada pasar primer penjualan adalah melalui pelelangan,
2) Government Musharaka Certificate (GMC) yaitu instrument yang memungkinkan pemerintah untuk melakukan pengumpulan dana melalui penerbitan sekuritas yang menjanjikan pada investor suatu pengembalian yang dinegosiasikan sebelumnya atas dasar investasi mereka pada kumpulan asset pemerintah yang berbentuk kepemilikan pada perusahaan-perusahaan public atau patungan yag menguntungkan dalam operasinya.
Secara garis besar, kegunaan GMC ini adalah sebagai berikut:
i. Pembiayaan anggaran,
ii. Instrument OMO bagi BOS,
iii. Mobilisasi tabungan nasional,
iv. Mendorong investasi,
v. Sebagai alat pengembangan pasar uang yang sesuai dengan syariah Islam.
j) Ijara Certificate (Sukuk) yaitu suatu sekuritas yang dimaksudkan untuk memobilisasi simpanan jangka pendek yang digunakan untuk pembangunan proyek infrastruktur jangka panjang yang dilakukan melalui sekuritisasi asset pemerintah berwujud seperti lapangan terbang, jalan, bangunan, pabrik, sekolah, rumah sakit, pembangkit listrik, penyulingan minyak, dan lainnya.
Dikarenakan pendapatan yang dihasilkan oleh sekuritas jenis ini (pendapatan sewa), serta basis asetnya (underlying asset) yang berwujud serta tersekuritisasi maka sukuk ini dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
Sukuk ini adalah instrument financial yang mempresentasikan tiga perjanjian dasar yaitu:
i. Perjanjian pembelian aset,
ii. Perjanjian sewa-menyewa,
iii. Perjanjian penjualan aset,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar